Pada 2–11 Juli 2025, tiga laboratorium polio nasional Indonesia bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengikuti workshop Whole Genome Sequencing (WGS) yang didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Bandung, Jawa Barat. Kegiatan ini menandai langkah penting dalam kemampuan Indonesia untuk mendeteksi, melacak, dan merespons virus polio.
Workshop dipimpin oleh para ahli dari Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA) Inggris, laboratorium khusus global di bawah Global Polio Laboratory Network (GPLN). Pelatihan ini memberikan panduan langsung dalam sequencing seluruh genom poliovirus. Workshop WGS ini digelar beberapa minggu setelah Indonesia mencapai tonggak penting: berhasil menghentikan sirkulasi virus polio, yang dikonfirmasi melalui Outbreak Response Assessment ketiga (OBRA-3) pada Juni 2025.
Antara November 2022 hingga Juli 2024, Indonesia mencatat 15 kasus polio di sembilan provinsi. Menanggapi hal ini, Kemenkes bekerja sama dengan WHO dan UNICEF mendistribusikan lebih dari 60 juta dosis vaksin polio oral baru tipe 2 (nOPV2) secara nasional, sekaligus memperkuat surveilans kelumpuhan layu akut (AFP). Saat ini, penutupan resmi wabah polio sangat dinantikan.
Workshop WGS selama 10 hari yang diselenggarakan oleh Laboratorium Polio Nasional Bandung menghadirkan 12 peserta dari laboratorium polio nasional di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, serta pejabat Kemenkes. Pelatihan mencakup seluruh alur kerja, mulai dari ekstraksi RNA, amplifikasi PCR semi-nested, nanopore sequencing, analisis bioinformatika, hingga interpretasi hasil, dengan penekanan kuat pada kontrol kualitas.
Yang paling penting, workshop ini memperkenalkan WGS sebagai peningkatan dari proses diagnostik standar GPLN, yang sebelumnya hanya meliputi isolasi virus, Reverse Transcriptase PCR, dan analisis sebagian genom melalui Sanger sequencing. Meski efektif, Sanger sequencing hanya memeriksa sebagian genom, sedangkan WGS menyusun seluruh genom, memungkinkan deteksi mutasi lebih tepat, hubungan kasus lebih jelas, dan pemetaan rantai transmisi yang lebih akurat. Hal ini krusial untuk menentukan asal-usul virus, panduan imunisasi tepat sasaran, dan penguatan penanganan wabah.
“WGS bukan hanya alat laboratorium, tetapi bagian integral dari surveilans penyakit,” kata Dr. Darmawali Handoko, Kepala Laboratorium Biologi Kesehatan Nasional, Kemenkes. “Perubahan genom sendiri bisa menentukan apakah suatu situasi akan meningkat, dengan implikasi regional dan global. Karena itu, membangun kapasitas WGS sangat penting, terutama saat kita memasuki fase eradikasi dan eliminasi penyakit.”
Meskipun OBRA-3 memastikan bahwa penularan polio di Indonesia telah terhenti, laporan tersebut juga memberikan rekomendasi untuk mempertahankan capaian ini, terutama di daerah berisiko tinggi seperti Papua, yang berbatasan dengan Papua Nugini. Prioritas utama meliputi pemantauan AFP (kelumpuhan layu akut) berkualitas tinggi, peningkatan imunisasi rutin, penanganan keraguan terhadap vaksin, serta pengenalan vaksin hexavalent di Papua.
“Dengan mengintegrasikan WGS ke dalam surveilans polio rutin, Indonesia dapat bertindak lebih cepat dan tepat ketika virus polio terdeteksi, mengurangi risiko penyebaran lebih lanjut, serta melindungi anak-anak dari kelumpuhan seumur hidup,” ujar Dr. Stephen Chacko, Pemimpin Tim Penyakit Menular di WHO Indonesia. “Kemampuan ini tidak hanya menjaga status bebas polio Indonesia, tetapi juga mendukung upaya global untuk memberantas penyakit ini.”
Teknisi laboratorium yang telah dilatih kini akan menerapkan WGS pada sejumlah isolat poliovirus terpilih, menjadikan teknologi ini bagian dari kerangka kerja surveilans polio nasional. Bersama Kemenkes, GPLN, dan mitra lainnya, WHO akan terus mendukung upaya ini, memastikan Indonesia tetap siap untuk mendeteksi, menyelidiki, dan merespons setiap ancaman polio di masa depan.





